” This is all Bull Shit.. !!”
Juna mengumpat..
malam ini ia meletakkan hatinya di dalam gelas kaca berair garam, perih
memang merasakan hal yang harus ia rasakan saat ini..
Ia melirikkan matanya ke sebuah undangan perkawinan yang tergeletak di meja, bertanggal esok hari..
Ga’ ada lagu yang pas buat menggambarkan perasaannya.
Ga’ ada mimik yang cocok untuk di pasang sebagai bentuk wajah yang
melukiskan kegundahannya. Sayatan – sayatan kecil mengorek pelan isi
jantungnya, mengeluarkan teriakan menggaung dari lubuk hati yang selama
ini rapi tersimpan dalam kotak kecil bertuliskan rahasia.
“Aku ga’ tahan lagi kalau terus begini… “ , bisik hatinya pada kepala yang menyimpan alat berfikir.
Lalu alat yang disebut otak itu memproses, menukar hasrat itu dengan logika, serta merta melawan,
“ Tapi kamu bukan
siapa – siapa.. lalu apa alasanmu untuk meruntuhkan pertahanan,
mengikis benteng, menghancurkan tembok perasaan yang telah kamu bangun?
Bukankah terus kamu sebutkan kalimat pujanggamu pada dada yang
menghela.. “Cinta itu menguatkan, dan kekuatan itu tumbuh saat melihat
orang yang kau cintai bahagia?" Lalu jika bahagianya bukan kamu… apa
kuasamu untuk menggetirkan senyum hidupnya..?”
Sementara keduanya
berkecamuk dalam balut perdebatan, Juna membuka folder photo di
Komputer jinjingnya. Memilih untuk melihat isi salah satu folder
berlabel “KAMU”, menekan mouse pada tombol kanan, memilih menu view dan
merubahnya menjadi tampilan filmstrip.. dimana beberapa photo berderet
dengan satu photo yang lebih besar terpampang di hadapannya..
Photo – photo itu
membuatnya harus mengangkat hatinya dari dalam gelas berair garam,
meletakkannya diatas meja berdebu, lalu memeras jeruk nipis di atasnya..
semakin perih rasanya dari sebelumnya..
“Ffffhhhuuuuhhh…..”, hempasnya pada nafas yang menyesak.
Sebentar kemudian
hati dan otaknya telah berdamai, menyatukan logika dengan emosi,
menerima pelik realita, bahwa dia bukan siapa-siapa dan tak mungkin
menjadi siapa..
Apa yang terjadi
bukan hal yang mudah untuk di lupakan, tapi semakin susah untuk di
ingat bukan karena terhapus, tapi karena tak inginnya membuka..
Juna menatap photo
di komputer jinjingnya lekat – lekat, bahkan matanya enggan berkedip,
tak satu air matapun dengan jelas menghujani pipinya, tidak, dia tidak
menangis, meski mata itu sedikit menebal dengan bening air yang
tertahan.. tapi dia menolak untuk menjatuhkannya..
“Aku akan menelan pahit ini dengan cara apapun.. demimu… “ , katanya pelan, lirih menggores hening..
Pandangannya
beralih, menatap botol diazepam oleh – oleh dokternya.., meraih lalu
membuka tutupnya, mengeluarkan beberapa butir pil kecil berwarna biru
muda,.. berdiri dari tempatnya, membuka lemari es, mengeluarkan sebotol
minuman beralkohol, menelan sekaligus sekitar lima belas pil di genggamannya.. lalu menegak minuman keras itu langsung dari mulut botol yang di cengkramnya dengan tangan yang lain…
Masih tetap dengan
minuman iblis itu ditangannya, ia kembali ke mejanya… menatap sekali
lagi photo seseorang yang sangat mengganggu pikirannya dengan kata
“HATE” sekaligus menores kata “LOVE” di hatinya..
Dibukanya e-mail,
lalu mulai menekan jarinya pada tuts aksara di komputer jinjingnya,
memuntahkan semua emosi pada lembar virtual putih di depannya.. sambil
sesekali kembali menegak minuman yang berdiri di sisi lain meja.
“ Jangan menyesal..
karena aku tak pernah menyesal, kamu adalah salah satu orang penting
dihidupku, sekaligus penerang jalanku selama ini, sebenarnya kalian
berdua, sahabat2ku, namun maafkan aku mencintaimu, aku memang bodoh
telah menentang gravitasi sosial dan moral, tapi setidaknya inilah
aku.. dalam kejujuranku pada keadaanku, jika ini semua terjadi, maka
aku lakukan demi bahagiamu, aku tak akan pernah tahan
untuk terus ada dan melihatmu bersamanya… bahkan aku tak kan sanggup
berfikir, saat dia seumur hidup kalian saling menyentuh, ini memang
seperti dilema antara aku harus membunuhnya demi bahagiaku, atau harus
kubunuh diriku untuk bahagiamu,.. dan aku telah memilih,.. mungkin saat
kau baca ini di e-mailmu.. kamu tau apa yang aku pilih… sekarang atau
nanti, toh sama saja.. dengan apa yang kuderita…“
Ia berhenti
mengetik seraya mengirimkan email itu ke alamat email orang yang
ditujunya… orang yang selama ini membuat hidupnya berarti, setidaknya
orang yang ia rasa telah menerima keadaannya…
Matanya terasa
berat, nafasnya tidak lagi bisa lebih dalam dari sebelumnya.. Juna
merasakan tubuhnya begitu ringan, Ia berdiri dari kursinya.. berpegangan
pada sandaran kursi itu .. berusaha melangkah meraih tempat tidurnya..
ia ingin berbaring disana, tapi pandangannya kabur, keseimbangannya
terlanjur labil, menghanyutkan tubuhnya ke lantai, terhempas dalam
ketidak sadaran…
*******
Flashback ke sehari sebelumnya…
“ Gue pengen lu
jadi salah satu wali gue besok.. please ya Juna…” , rengek Mumu, wanita
berparas ayu, sahabat yang akan menikah dengan sahabatnya yang lain,
Arya Ramadhan.
Juna tak menjawab
sementara, ia terus saja memasukkan lembar demi lembar undangan yang
bertumpuk di depannya ke dalam plastik pembungkusnya.
“ Apa ga’ ada keluarga lu yang lain..? Kok mesti gue sih?” , tanyanya balik kemudian..
“ Kita bertiga kan
udah sahabatan lama… mama papa, dan arya juga setuju, masa sih, sekali
seumur hidup lu, ga’ mau jadi bagian penting dalam hidup sahabatnya..? “
, ucap ngotot mumu pada juna..
“ Iya… Iyaaa… OK! .. Apa sih yang engga’? “ .. jawab Juna mengeraskan suaranya sambil berdiri, lalu pergi..
“ Loh.. Juna..
Juna… mau kemana.. ini belum selese.. “ , tahan mumu menunjuk ke arah
undangan yang masih bertumpuk, tak sadar apa yang tengah terjadi di
dada sahabatnya.
Tapi itu tak
mengurungkan langkah Juna sedikitpun, ia tetap saja berjalan, menuju
kendaraannya, menyalakan mesinnya, dan berlalu dengan cepat seiring deru
mesin kendaraannya yang di pacu sangat kencang.. pulang ke kostnya..
Sesampainya dirumah, ia masuk ke kamarnya, membanting tubuhnya, menenggelamkan wajahnya ke bantal, berteriak sekuatnya..
Telah dua tahun ini
ia bersahabat dengan Mumu, sejak mereka bertemu dalam salah satu acara
di hari AIDS, saat itu pertama kali mumu menjadi aktivis AIDS, dan
menjadi anggota panitia acara tersebut, sama seperti Juna.
Bedanya, Mumu
menjadi aktivis karena adiknya meninggal, setelah lima tahun di vonis
mengidap AIDS positif dikarenakan pemakaian drugs with injection.., dan
Juna.. ia menjadi panitia karena beberapa tahun sebelumnya dia sendiri
di nyatakan telah terjangkit virus HIV.
Disitulah awal
cerita persahabatan bermula, mumu yang telah lama hidup dengan ODA
(orang dengan AIDS) tentu saja tidak membatasi dirinya dengan
diskriminasi, dengan mudah ia mengakrabkan dirinya pada Juna, seolah
jurang penyakit itu tidak pernah menjadi hambatan apapun. Kemudian tak
lama, Juna pun dikenalkan pada seorang teman Mumu kuliah, Arya namanya,.
Aryapun berminat untuk menjadi aktivis, karena dia ingin tau lebih
banyak tentang AIDS dan merasa empati pada para penderitanya.
Sejak saat itulah
mereka bertiga aktif dalam organisasi, berkampanye tentang HIV di
kampus-kampus,membagikan kondom dan stiker anti AIDS di jalan, dan
ketiganya tanpa terasa telah menjadi tiga serangkai yang sulit untuk
dipisahkan. Kemana-mana selalu bersama, suka, duka, senang, sedih,
selalu di share satu sama lain, setiap kebersamaan di rekam lewat
camcorder agar kelak bisa mereka tonton bersama..
Tapi itu dulu… dan
kini tak sama lagi bagi Juna. Sejak beberapa bulan lalu bahkan, saat
Juna memutuskan untuk merubah perasaannya dari persahabatan menjadi
cinta. Yang telah diungkapkannya kepada salah satu sahabatnya itu..
yang berbuah penolakan secara halus dengan kalimat sederhana, “Aah,
macem-macem aja kamu Jun.. ga mungkin lah itu terjadi.., udah, ga usah
mikir yang engga’-ga’, anggap aja ini ga’ pernah kita bicarain, kita
best friend selamanya oke..”
Dan buah kalimat
itu berubah menjadi pahit, saat ternyata, selama ini tanpa disadarinya,
kedua sahabatnya telah saling memilih untuk menjadi kekasih di
belakangnya, dan beberapa minggu lalu telah sepakat untuk menjadi
pendamping hidup selamanya,. Sebuah tamparan panas di pipinya, mengapa
semua itu tak pernah terlihat di matanya yang tertutup kamuflase
persahabatan..
Ia ingin berontak,
tapi tak sanggup, karena ini bukan hanya dia melawan takdir, tapi
dirinya melawan seluruh dunia.. dan dia tak sanggup ..
Juna hanya
mematungkan dirinya, tanpa sehelai benang berdiri di depan cermin besar
lemarinya, matanya berlari mengejar tiap jengkal tubuhnya yang
terefleksi. Hatinya bertanya, mengapa dia, mengapa bukan aku yang kau
pilih, apa buruknya aku, tidak ada yang kurang dari tubuh ini, lengkap,
Tuhan memberikannya sempurna.. sama denganmu, lalu mengapa.. ? Apa
karena penyakit ini yang kita perangi bersama? Atau kamu sama munafiknya
dengan mereka yang membedakan kami? Dengan mereka yang menyisihkan
kami? Kita sama kan… ? Sama.. tak beda.. ternyata justru itulah
masalahnya…
*********
Mumu dan Arya
keluar dari mobil dengan bergegas.. diikuti beberapa anggota
keluarganya, masih memakai pakaian pernikahan mereka yang telah di
laksanakan hari ini tanpa Juna, tepat sebelum ibu kost Juna menelpon
sambil menangis.. menyebut nama Juna dengan tersedu.. meminta mereka
berdua segera datang..
Wajah mereka berdua
sangat pucat, jantung mereka berdebar saat melihat garis polisi telah
di pasang di rumah kost itu, mereka berusaha menerobos masuk melewati
kerumunan tetangga yang berkumpul untuk ikut menyaksikan apa yang
terjadi..
Semua melihat ke
arah mereka dengan wajah aneh, ada yang berbisik-bisik dan tersenyum,
mungkin karena pakaian mereka, atau mereka tau yang terjadi berhubungan
dengan mumu dan Arya.. tapi keduanya tak peduli itu, bahkan saat
menjelaskan kepada polisi yang menahan mereka,. Hingga mereka berhasil
masuk dan menemui ibu kost tengah berada di ruang tamu dengan beberapa
polisi..
“Bu…ada apa bu???! Mana Juna??” , tanya Arya terengah..
Ibu kost memandang
ke arah mereka berdua, menyebabkan beberapa bulir air mata kembali
menuruni pipinya, lalu berkata lirih, “ Juna sudah ga’ ada nak.. dia
sudah ga ada.. “
“Maksud ibu??.. “ ,
tangis mulai pecah seraya tanya Mumu mengiringinya berlutut didepan
ibu kost sambil menggoyang-goyangkan paha ibu kost dengan tangannya
seraya meyakinkan apa yang sebenarnya telah ada dikepalanya.
Ibu kost mengangguk,.. “ dia sudah meninggal nak.. sudah meninggal…”
Dan tangispun
memecah keheningan rumah itu, membaur jadi satu kedukaan, ketidak
percayaan dan kepiluan yang tak terduga, sebuah hadiah pernikahan yang
tak kan pernah terlupakan seumur hidup bagi Arya dan Mumu..
Dari keterangan
polisi dan ibu kost, Juna ditemukan pagi itu di lantai kamarnya, dalam
keadaan over dosis obat penenang, jantungnya beku tak mampu menahan
obat yang diminumnya, dari catatan-catatan di komputer jinjingnya
ditemukan beberapa catatan kecil mengenai hidup dan masalah
percintaannya. Di situ juga masih terbuka folder foto seseorang yang di
cintainya, yang menjadi penyebab pilihan ini di ambilnya..
Yang paling
menguatkan adalah.. e-mail terakhir yang tersimpan di kotak sent yang
dikirim ke alamat orang yang dicintainya itu..
aryarama@ykmail.com.
Sebuah pukulan
telak, bahwa lagi-lagi cinta mengalahkan logika.. seorang Juna, pria
yang berjati diri wanita, seorang homo seksual, pengidap HIV positif
karena hubungan sesama jenis yang di lakoninya dulu sebelum mengenal Mumu
dan Arya. Yang mengira dirinya dan dikira sahabat-sahabatnya mampu
berubah, tapi ternyata cinta dalam hatinya tak mampu berbohong bahwa
ternyata dia jatuhkan cintanya kembali kepada laki-laki, sahabatnya
sendiri.., Arya Ramadhan..
Kini hanya kenangan
yang tertoreh dalam sebuah keping DVD yang Mumu dan Arya dapat tonton
bersama anak-anak mereka kelak untuk diceritakan, saat-saat mereka
bertiga bersama,.. beberapa adegan saat mereka bersemangat kampanye di
jalan, tawa mereka saat makan pecel pincuk di pinggir jalan, atau
berlarian di pantai dalam tawa keceriaan. Tapi yang paling membekas
adalah bagian akhir di film dokumenter itu, di mana Juna di shoot
sendirian, untuk menyampaikan biografinya sambil terus tersenyum dengan
santai…
“ Hai… gue Juna,.
gue penderita HIV, gue tau telah banyak kesalahan yang gue perbuat dan
ini hukuman Tuhan buat gue, tapi gue anggap ini anugerah juga,.. karena
dengan begini gue bisa ketemu dua sahabat baik gue, Arya ama Mumu tuh
yang selalu support dan mengasihi gue tanpa alasan, dan juga punya
kesempatan untuk makin dekat sama Tuhan kita yang maha baik meski gue
tau nanti pasti masih banyak lagi kesalahan yang bakal gue buat, tapi
DIA ga pernah menolak kita sekalipun masuk ke dalam rumahNYA, hebat
yah.. Tuhan kita.., dan gue juga jadi punya kesempatan memberitahukan
pada kalian semua di luar sana, bahwa kalian harus liat akibatnya
sebelum kalian terpaksa harus menanggungnya jika ingin berbuat,.. maka
jadikanlah gue contoh yang buruk, agar kalian bisa jadi lebih baik..
setidaknya, saat kalian menonton ini dan gue udah ga’ ada, kalian tau..
gue ga’ takut lagi, karena peluang kita semua sama, cuma hidup sekali,
dan setidaknya meski singkat.. hidupku ini cukup berarti.. buatku..
dan kuharap buat kalian juga.. Stay alive, stay away from AIDS yahh..”
Lalu Juna tertawa dan melambai… mengusaikan film dokumenter yang melukis kenangan terakhirnya..
**THE END**