Yahya berlari pada bapaknya.., berteriak sekeras mungkin bahkan sebelum dia melihat wajah bapaknya menoleh kepadanya…
“Bapaaaakkkkkkk………
“ , sekejap ia memeluk seorang bapak-bapak dari belakang sambil menempelkan pipi
wajahnya kepundak lelaki yang sedang duduk di kursi taman itu.
Sang
lelaki terkejut pasi, refleksnya memutar badan dan melihat siapa anak
kecil yang telah mendekapnya dari belakang.. masih dalam posisi duduk
namun memasang wajah awas… di perhatikannya wajah anak itu yang
tersenyum dan tetap berusaha memeluknya.. lalu sekilas menepisnya
berdiri dan undur selangkah.. membuat pelukan yahya terlepas.. dan kursi
taman menjadi pembatas keduanya..
Lelaki
paruh baya itu mengernyitkan dahi dan berucap meninggi.. “Heh! Siapa
kamu! Peluk2 sembarangan!” , hardiknya pada yahya yang terus tersenyum
sambil berjalan mundur…
Yahya
tidak menjawab, anak umur 6 tahun itu memutar tubuh mungil kurusnya,
berlari, lalu sekali menoleh dengan tawanya ke arah lelaki tadi yang
masih tetap berdiri memandangnya.. dan si yahya kecil teriak lagi sambil
melambai-lambaikan tangannya… “ Dadaahhh pakk… yaya’ pulang pak.. cepat nyusul ya pakkkkk…. Yaya’ tungguuu..“
Di
kebingungan lelaki itu memandang, yahya kecil telah hilang dari
pandangan, pulang mungkin, ke pemukiman kumuh disisi sungai dekat
sebuah jembatan yang disebutnya “rumah”.
Yah..
lelaki itu memang bukan ayahnya, bukan siapa-siapa yang dikenalnya
bahkan,.. dia hanya selalu melakukan itu sejak setahun lalu pada orang
yang sedang duduk ditaman diseberang jembatan tak jauh dari tempat
dimana ia menetap semenjak lahir..
“Mak..
dimana bapak?” , pernah tanyanya lugu ketika menemani ibunya mencuci di
hitamnya air sungai yang sebenarnya telah tak layak digunakan.
“Yaya’,
Jangan tanya mulu nak.. Nggak tau mak mana bapakmu.. terakhir mak tau,
dia sedang duduk di taman sono waktu malem kamu lahir, trus besoknya mak udah nggak pernah liat lagi… nggak tau mati.. nggak tau idup.. ” , jelas ibunya.
Mungkin itulah yang tertanam dalam otak yahya,
hingga tiap kali ada pria paruh baya duduk di kursi taman yang ditunjuk
maknya, dia lalu berusaha memeluk mereka dari belakang, entah berharap
salah satu dari mereka adalah benar ayahnya, atau hanya sekedar ingin
merasakan hangatnya tubuh seorang ayah yang tak pernah didekapnya
semenjak lahir.
Ayah
yang mungkin tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa di sulitnya hidup,
harus mendapatkan seorang anak yang tak mampu di anggapnya sebagai
karunia dan pemberian Tuhan. Ayah yang berlari menghindar dari kerasnya
tanggung jawab. Namun tetap ayah yang didambakan olehnya untuk dapat
membalas pelukannya suatu hari kelak dan yahya memaafkan semuanya.
……………………..
Yahya memandang pinggiran sungai berair hitam dari atas jembatan tak jauh dari tempat ia memarkir mobilnya. Masih jelas diingatannya
15 tahun lalu, dirinya masih tinggal disisi sungai itu. Tempat terakhir
dimana ia mendekap tubuh ibunya yang dingin membeku, saat ajal telah
datang menjemput dan hanya ia satu-satunya yang berada disisi ibunya.
Subuh itu, yahya ingat betul apa yang terjadi saat usianya 7 tahun, tubuh ibunya yang telah lemah karena sakit panjang yang dideritanya, yahya sendiri tak mengerti apa yang diderita ibunya,
hanya dua butir obat sakit kepala yang di belinya di warung setelah
ikut teman-temannya mengamen semalaman di perempatan jalan yang sanggup
ia berikan dengan tubuh dan usia kecilnya.
“Ya’.. Mak kedinginan.. dekep mak yah..” , ucap ibunya
parau lemah, dan yahya mengangguk, mendekati ibunya, mendekapnya erat,
kakinya menempel pada kaki ibunya yang dingin seperti es..
Ibunya mengambil sesuatu dari bawah bantal perca tipisnya, sebuah Al Qur’an lusuh, yang mungkin usianya lebih tua dari yahya..
“Mak
gak punya apa-apa nak, cuma ini pegangan mak selama ini, saat mak
sedih, saat mak marah, atau saat mak hampir putus asa, mak selalu
berpegangan ama ini.. dan mak selalu ingat kamu.. “ , bulir air mata
tipis mulai mengalir disudut mata ibunya yang terlihat sangat lelah..
Kelelahan
seorang ibu yang telah membesarkan anaknya seorang diri, kekuatan yang
tiada banding demi kehidupannya dan buah hatinya, semampunya memberikan
apa yang sanggup ia perjuangkan.. sungguh semua itu tergambar di wajah
dan matanya yang beranjak layu..
“Mak
mau tidur lama-lama ya nak, jangan bangunin mak, ingat.. Kamu harus
jadi’in Al Qur’an ini satu-satunya harta kamu yang paling berharga,
pegang teguh dan kuasai isinya.. amalin dengan bener, dengan begitu mak
akan bangga ama kamu nak.. “ , ucap terakhir maknya waktu itu dengan
isak tangis pelan, seolah tau, esok takkan berucap lagi..
Dan
setelahnya, dalam peluk anaknya, ia tertidur, hingga esok paginya,
yahya terbangun dan dengan susah payah melepaskan diri dari tubuh kaku
maknya, yang tak lagi bangun.
Setelah
kepergian ibunya, yahya masih tetap tinggal di situ, sisi sungai dekat
taman, karena dia memang tidak punya siapa-siapa lagi, setiap hari hanya
mengamen dengan teman-temannya untuk sekedar mengisi perut saat lapar.
Kini usianya
telah 22 tahun, ia berdiri dengan tubuhnya yang tak lagi kurus mungil,
kini ia tegap, berpakaian rapi, ia kini seorang lulusan negara kairo di
bidang agama, dan kini telah menjadi seorang da’i terkenal.
Dijembatan itu
saat ini ia mengingat detil demi detil hidupnya yang keras semasa kecil,
hingga suatu hari, seorang pria paruh baya duduk di kursi taman, dan ia
kembali memeluknya dari belakang, namun kali itu bukan hardikan yang ia
terima seperti biasanya,
Lelaki itu
berbalik badan, tersenyum, dan menarik lengannya lembut mengajak duduk
disisinya, membelai hangat rambut di kepalanya, lalu ngobrol hangat
kebapakan..
Itulah awal
kehidupan barunya, dimana ternyata orang tersebut adalah salah seorang
ustadz di salah satu pondok pesantren di daerah, yang pada saat itu juga
mengajaknya untuk ikut tinggal dengannya, menganggapnya sebagai anak,
membesarkannya, mengajarkan ilmu agama, menyekolahkannya di pesantren
tersebut, hingga ia mendapatkan beasiswa ke kairo untuk menyelesaikan
studi perguruan tingginya.. hingga pada hari ini yahya telah berubah
menjadi orang.., orang yang dapat di banggakan..
***
Yahya tak
berucap apa-apa, ia menghapus kerling bening disudut matanya, rasa
kangennya pada bau sungai berair hitam, tempat ia menghabiskan banyak
kenangan pahit masa kecil, telah pupus, ia tersenyum, lalu beranjak dari
jembatan itu kembali ke mobilnya.
Masuk ke dalam
mobil, didapatinya istrinya tersenyum, dikursi belakang kedua
putra-putrinyapun tersenyum, istrinya memeluk sebuah Al Qur’an lusuh,
Itu peninggalan satu-satunya dari ibunya dulu sebelum meninggal dunia..
dan masih di jaganya hingga kini.
Yahyapun
tersenyum, memutar kunci mobilnya hingga mesin menyala,. “Sekarang, kita
kunjungi kuburan nenek, kita kirim do’a disana, OK !”
“OK Yahhh…. “, sahut anak-anaknya penuh riang… dan senyum istrinya yang tak pernah pudar.
Ini adalah
cerita hidup yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya, bahkan
direncanakanpun tidak, bahwa hidup mengalir seperti sungai, yang sesaat
berair hitam dan bau, namun akhirnya saat telah bergabung dengan muara
hingga ke lautan, ia takkan selamanya hitam, salah satu bukti bahwa
Tuhan itu ada, Maha melihat, dan Maha Adil terhadap hamba-hambanya.
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar