Jumat, 30 November 2012

Cinta versus E=MC2 (Emosi mengalahkan Logika)

” This is all Bull Shit.. !!”
 
Juna mengumpat.. malam ini ia meletakkan hatinya di dalam gelas kaca berair garam, perih memang merasakan hal yang harus ia rasakan saat ini..
 
Ia melirikkan matanya ke sebuah undangan perkawinan yang tergeletak di meja, bertanggal esok hari..
 
Ga’ ada lagu yang pas buat menggambarkan perasaannya. Ga’ ada mimik yang cocok untuk di pasang sebagai bentuk wajah yang melukiskan kegundahannya. Sayatan – sayatan kecil mengorek pelan isi jantungnya, mengeluarkan teriakan menggaung dari lubuk hati yang selama ini rapi tersimpan dalam kotak kecil bertuliskan rahasia.
 
“Aku ga’ tahan lagi kalau terus begini… “ , bisik hatinya pada kepala yang menyimpan alat berfikir.
 
Lalu alat yang disebut otak itu memproses, menukar hasrat itu dengan logika, serta merta melawan,
“ Tapi kamu bukan siapa – siapa.. lalu apa alasanmu untuk meruntuhkan pertahanan, mengikis benteng, menghancurkan tembok perasaan yang telah kamu bangun? Bukankah terus kamu sebutkan kalimat pujanggamu pada dada yang menghela.. “Cinta itu menguatkan, dan kekuatan itu tumbuh saat melihat orang yang kau cintai bahagia?" Lalu jika bahagianya bukan kamu… apa kuasamu untuk menggetirkan senyum hidupnya..?”
 
Sementara keduanya berkecamuk dalam balut perdebatan, Juna membuka folder photo di Komputer jinjingnya. Memilih untuk melihat isi salah satu folder berlabel “KAMU”, menekan mouse pada tombol kanan, memilih menu view dan merubahnya menjadi tampilan filmstrip.. dimana beberapa photo berderet dengan satu photo yang lebih besar terpampang di hadapannya..
 
Photo – photo itu membuatnya harus mengangkat hatinya dari dalam gelas berair garam, meletakkannya diatas meja berdebu, lalu memeras jeruk nipis di atasnya.. semakin perih rasanya dari sebelumnya..
 
“Ffffhhhuuuuhhh…..”, hempasnya pada nafas yang menyesak.
 
Sebentar kemudian hati dan otaknya telah berdamai, menyatukan logika dengan emosi, menerima pelik realita, bahwa dia bukan siapa-siapa dan tak mungkin menjadi siapa..
 
Apa yang terjadi bukan hal yang mudah untuk di lupakan, tapi semakin susah untuk di ingat bukan karena terhapus, tapi karena tak inginnya membuka..
 
Juna menatap photo di komputer jinjingnya lekat – lekat, bahkan matanya enggan berkedip, tak satu air matapun dengan jelas menghujani pipinya, tidak, dia tidak menangis, meski mata itu sedikit menebal dengan bening air yang tertahan.. tapi dia menolak untuk menjatuhkannya..
 
“Aku akan menelan pahit ini dengan cara apapun.. demimu… “ , katanya pelan, lirih menggores hening..
 
Pandangannya beralih, menatap botol diazepam oleh – oleh dokternya.., meraih lalu membuka tutupnya, mengeluarkan beberapa butir pil kecil berwarna biru muda,.. berdiri dari tempatnya, membuka lemari es, mengeluarkan sebotol minuman beralkohol, menelan sekaligus sekitar lima belas pil di genggamannya.. lalu menegak minuman keras itu langsung dari mulut botol yang di cengkramnya dengan tangan yang lain…
 
Masih tetap dengan minuman iblis itu ditangannya, ia kembali ke mejanya… menatap sekali lagi photo seseorang yang sangat mengganggu pikirannya dengan kata “HATE” sekaligus menores kata “LOVE” di hatinya..
 
Dibukanya e-mail, lalu mulai menekan jarinya pada tuts aksara di komputer jinjingnya, memuntahkan semua emosi pada lembar virtual putih di depannya.. sambil sesekali kembali menegak minuman yang berdiri di sisi lain meja.
 
“ Jangan menyesal.. karena aku tak pernah menyesal, kamu adalah salah satu orang penting dihidupku, sekaligus penerang jalanku selama ini, sebenarnya kalian berdua, sahabat2ku, namun maafkan aku mencintaimu, aku memang bodoh telah menentang gravitasi sosial dan moral, tapi setidaknya inilah aku.. dalam kejujuranku pada keadaanku, jika ini semua terjadi, maka aku lakukan demi bahagiamu, aku tak akan pernah tahan untuk terus ada dan melihatmu bersamanya… bahkan aku tak kan sanggup berfikir, saat dia seumur hidup kalian saling menyentuh, ini memang seperti dilema antara aku harus membunuhnya demi bahagiaku, atau harus kubunuh diriku untuk bahagiamu,.. dan aku telah memilih,.. mungkin saat kau baca ini di e-mailmu.. kamu tau apa yang aku pilih… sekarang atau nanti, toh sama saja.. dengan apa yang kuderita…“
 
Ia berhenti mengetik seraya mengirimkan email itu ke alamat email orang yang ditujunya… orang yang selama ini membuat hidupnya berarti, setidaknya orang yang ia rasa telah menerima keadaannya…
 
Matanya terasa berat, nafasnya tidak lagi bisa lebih dalam dari sebelumnya.. Juna merasakan tubuhnya begitu ringan, Ia berdiri dari kursinya.. berpegangan pada sandaran kursi itu .. berusaha melangkah meraih tempat tidurnya.. ia ingin berbaring disana, tapi pandangannya kabur, keseimbangannya terlanjur labil, menghanyutkan tubuhnya ke lantai, terhempas dalam ketidak sadaran…
 
*******
 
Flashback ke sehari sebelumnya…
 
“ Gue pengen lu jadi salah satu wali gue besok.. please ya Juna…” , rengek Mumu, wanita berparas ayu, sahabat yang akan menikah dengan sahabatnya yang lain, Arya Ramadhan.
 
Juna tak menjawab sementara, ia terus saja memasukkan lembar demi lembar undangan yang bertumpuk di depannya ke dalam plastik pembungkusnya.
 
“ Apa ga’ ada keluarga lu yang lain..? Kok mesti gue sih?” , tanyanya balik kemudian..
 
“ Kita bertiga kan udah sahabatan lama… mama papa, dan arya juga setuju, masa sih, sekali seumur hidup lu, ga’ mau jadi bagian penting dalam hidup sahabatnya..? “ , ucap ngotot mumu pada juna..
 
“ Iya… Iyaaa… OK! .. Apa sih yang engga’? “ .. jawab Juna mengeraskan suaranya sambil berdiri, lalu pergi..
 
“ Loh.. Juna.. Juna… mau kemana.. ini belum selese.. “ , tahan mumu menunjuk ke arah undangan yang masih bertumpuk, tak sadar apa yang tengah terjadi di dada sahabatnya.
 
Tapi itu tak mengurungkan langkah Juna sedikitpun, ia tetap saja berjalan, menuju kendaraannya, menyalakan mesinnya, dan berlalu dengan cepat seiring deru mesin kendaraannya yang di pacu sangat kencang.. pulang ke kostnya..
 
Sesampainya dirumah, ia masuk ke kamarnya, membanting tubuhnya, menenggelamkan wajahnya ke bantal, berteriak sekuatnya..
 
Telah dua tahun ini ia bersahabat dengan Mumu, sejak mereka bertemu dalam salah satu acara di hari AIDS, saat itu pertama kali mumu menjadi aktivis AIDS, dan menjadi anggota panitia acara tersebut, sama seperti Juna.
 
Bedanya, Mumu menjadi aktivis karena adiknya meninggal, setelah lima tahun di vonis mengidap AIDS positif dikarenakan pemakaian drugs with injection.., dan Juna.. ia menjadi panitia karena beberapa tahun sebelumnya dia sendiri di nyatakan telah terjangkit virus HIV.
 
Disitulah awal cerita persahabatan bermula, mumu yang telah lama hidup dengan ODA (orang dengan AIDS) tentu saja tidak membatasi dirinya dengan diskriminasi, dengan mudah ia mengakrabkan dirinya pada Juna, seolah jurang penyakit itu tidak pernah menjadi hambatan apapun. Kemudian tak lama, Juna pun dikenalkan pada seorang teman Mumu kuliah, Arya namanya,. Aryapun berminat untuk menjadi aktivis, karena dia ingin tau lebih banyak tentang AIDS dan merasa empati pada para penderitanya.
 
Sejak saat itulah mereka bertiga aktif dalam organisasi, berkampanye tentang HIV di kampus-kampus,membagikan kondom dan stiker anti AIDS di jalan, dan ketiganya tanpa terasa telah menjadi tiga serangkai yang sulit untuk dipisahkan. Kemana-mana selalu bersama, suka, duka, senang, sedih, selalu di share satu sama lain, setiap kebersamaan di rekam lewat camcorder agar kelak bisa mereka tonton bersama..
 
Tapi itu dulu… dan kini tak sama lagi bagi Juna. Sejak beberapa bulan lalu bahkan, saat Juna memutuskan untuk merubah perasaannya dari persahabatan menjadi cinta. Yang telah diungkapkannya kepada salah satu sahabatnya itu.. yang berbuah penolakan secara halus dengan kalimat sederhana, “Aah, macem-macem aja kamu Jun.. ga mungkin lah itu terjadi.., udah, ga usah mikir yang engga’-ga’, anggap aja ini ga’ pernah kita bicarain, kita best friend selamanya oke..”
 
Dan buah kalimat itu berubah menjadi pahit, saat ternyata, selama ini tanpa disadarinya, kedua sahabatnya telah saling memilih untuk menjadi kekasih di belakangnya, dan beberapa minggu lalu telah sepakat untuk menjadi pendamping hidup selamanya,. Sebuah tamparan panas di pipinya, mengapa semua itu tak pernah terlihat di matanya yang tertutup kamuflase persahabatan..
 
Ia ingin berontak, tapi tak sanggup, karena ini bukan hanya dia melawan takdir, tapi dirinya melawan seluruh dunia.. dan dia tak sanggup ..
 
Juna hanya mematungkan dirinya, tanpa sehelai benang berdiri di depan cermin besar lemarinya, matanya berlari mengejar tiap jengkal tubuhnya yang terefleksi. Hatinya bertanya, mengapa dia, mengapa bukan aku yang kau pilih, apa buruknya aku, tidak ada yang kurang dari tubuh ini, lengkap, Tuhan memberikannya sempurna.. sama denganmu, lalu mengapa.. ? Apa karena penyakit ini yang kita perangi bersama? Atau kamu sama munafiknya dengan mereka yang membedakan kami? Dengan mereka yang menyisihkan kami? Kita sama kan… ? Sama.. tak beda.. ternyata justru itulah masalahnya…
 
*********
 
Mumu dan Arya keluar dari mobil dengan bergegas.. diikuti beberapa anggota keluarganya, masih memakai pakaian pernikahan mereka yang telah di laksanakan hari ini tanpa Juna, tepat sebelum ibu kost Juna menelpon sambil menangis.. menyebut nama Juna dengan tersedu.. meminta mereka berdua segera datang..
Wajah mereka berdua sangat pucat, jantung mereka berdebar saat melihat garis polisi telah di pasang di rumah kost itu, mereka berusaha menerobos masuk melewati kerumunan tetangga yang berkumpul untuk ikut menyaksikan apa yang terjadi..
 
Semua melihat ke arah mereka dengan wajah aneh, ada yang berbisik-bisik dan tersenyum, mungkin karena pakaian mereka, atau mereka tau yang terjadi berhubungan dengan mumu dan Arya.. tapi keduanya tak peduli itu, bahkan saat menjelaskan kepada polisi yang menahan mereka,. Hingga mereka berhasil masuk dan menemui ibu kost tengah berada di ruang tamu dengan beberapa polisi..
 
“Bu…ada apa bu???! Mana Juna??” , tanya Arya terengah..
 
Ibu kost memandang ke arah mereka berdua, menyebabkan beberapa bulir air mata kembali menuruni pipinya, lalu berkata lirih, “ Juna sudah ga’ ada nak.. dia sudah ga ada.. “
 
“Maksud ibu??.. “ , tangis mulai pecah seraya tanya Mumu mengiringinya berlutut didepan ibu kost sambil menggoyang-goyangkan paha ibu kost dengan tangannya seraya meyakinkan apa yang sebenarnya telah ada dikepalanya.
 
Ibu kost mengangguk,.. “ dia sudah meninggal nak.. sudah meninggal…”
 
Dan tangispun memecah keheningan rumah itu, membaur jadi satu kedukaan, ketidak percayaan dan kepiluan yang tak terduga, sebuah hadiah pernikahan yang tak kan pernah terlupakan seumur hidup bagi Arya dan Mumu..
 
Dari keterangan polisi dan ibu kost, Juna ditemukan pagi itu di lantai kamarnya, dalam keadaan over dosis obat penenang, jantungnya beku tak mampu menahan obat yang diminumnya, dari catatan-catatan di komputer jinjingnya ditemukan beberapa catatan kecil mengenai hidup dan masalah percintaannya. Di situ juga masih terbuka folder foto seseorang yang di cintainya, yang menjadi penyebab pilihan ini di ambilnya..
 
Yang paling menguatkan adalah.. e-mail terakhir yang tersimpan di kotak sent yang dikirim ke alamat orang yang dicintainya itu.. aryarama@ykmail.com.
 
Sebuah pukulan telak, bahwa lagi-lagi cinta mengalahkan logika.. seorang Juna, pria yang berjati diri wanita, seorang homo seksual, pengidap HIV positif karena hubungan sesama jenis yang di lakoninya dulu sebelum mengenal Mumu dan Arya. Yang mengira dirinya dan dikira sahabat-sahabatnya mampu berubah, tapi ternyata cinta dalam hatinya tak mampu berbohong bahwa ternyata dia jatuhkan cintanya kembali kepada laki-laki, sahabatnya sendiri.., Arya Ramadhan..
 
Kini hanya kenangan yang tertoreh dalam sebuah keping DVD yang Mumu dan Arya dapat tonton bersama anak-anak mereka kelak untuk diceritakan, saat-saat mereka bertiga bersama,.. beberapa adegan saat mereka bersemangat kampanye di jalan, tawa mereka saat makan pecel pincuk di pinggir jalan, atau berlarian di pantai dalam tawa keceriaan. Tapi yang paling membekas adalah bagian akhir di film dokumenter itu, di mana Juna di shoot sendirian, untuk menyampaikan biografinya sambil terus tersenyum dengan santai…
 
Hai… gue Juna,. gue penderita HIV, gue tau telah banyak kesalahan yang gue perbuat dan ini hukuman Tuhan buat gue, tapi gue anggap ini anugerah juga,.. karena dengan begini gue bisa ketemu dua sahabat baik gue, Arya ama Mumu tuh yang selalu support dan mengasihi gue tanpa alasan, dan juga punya kesempatan untuk makin dekat sama Tuhan kita yang maha baik meski gue tau nanti pasti masih banyak lagi kesalahan yang bakal gue buat, tapi DIA ga pernah menolak kita sekalipun masuk ke dalam rumahNYA, hebat yah.. Tuhan kita.., dan gue juga jadi punya kesempatan memberitahukan pada kalian semua di luar sana, bahwa kalian harus liat akibatnya sebelum kalian terpaksa harus menanggungnya jika ingin berbuat,.. maka jadikanlah gue contoh yang buruk, agar kalian bisa jadi lebih baik.. setidaknya, saat kalian menonton ini dan gue udah ga’ ada, kalian tau.. gue ga’ takut lagi, karena peluang kita semua sama, cuma hidup sekali, dan setidaknya meski singkat.. hidupku ini cukup berarti.. buatku.. dan kuharap buat kalian juga.. Stay alive, stay away from AIDS yahh..”
 
Lalu Juna tertawa dan melambai… mengusaikan film dokumenter yang melukis kenangan terakhirnya..
 
 
**THE END**

KISAH SAHABAT DALAM REALITA

Ingat ini selalu.. Tuhan punya 3 kata untuk tiap hal dan doa manusia yang berkaitan dengan waktu,. :

TUNGGU : Belum waktunya kamu mendapatkannya karena kamu belum sanggup  mempertanggungjawabkan

TIDAK : Bukan berarti Dia tidak mengabulkan tapi Dia punya rencana lain untukmu

IYA : Jika kamu menyadari bahwa sebelum kamu meminta, DIA sudah berikan semua yang kamu butuhkan .. hanya saja kamu tidak bisa melihatnya hanya dengan mata.. tapi dengan hati.. keyakinan dan penuh rasa bersyukur..


Aku hanyalah seorang  Bono, dan aku bukan Superman…

Begitu dia memulai ceritanya.. saat kami duduk di pelataran sungai mahakam sambil menikmati pemandangan malam yang memantul di permukaan air,.. dan debur-debur gelombang sungai yang membuih mengiring suaranya pelan…

Seorang pria pelaku sex for sale yang sering mangkal di kawasan ini,.. yang baru saja aku bujuk untuk berkenalan dan menceritakan biografi hidupnya sebagai bahan tulisanku…

“Belikan saja aku rokok dan segelas capuchinno hangat, lagian malam ini sepi..” , katanya…

Lalu dimulailah ceritanya…

Aku adalah salah satu dari sekian manusia yang diciptakan dengan ketidaksempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah tentunya.

Telah banyak yang terjadi pada hidupku, hal-hal buruk maupun baik.. kilas itu kadang teringat kadang terlupa, beberapa detail mungkin tak sanggup lagi aku ingat, tapi gurat memori ga akan pernah terhapus sebelum otakku benar-benar mati dalam prosesnya kelak.

Umur 7 tahun, pertama kali aku mengenal seks, waktu itu aku baru kelas 2 SD, bahkan penisku belum di sunat, salah seorang tetanggaku mengajakku bermain di rumahnya bersama beberapa teman lain sebayaku, mbak Endang namanya, usianya  4 tahun di atasku dan dia yang paling tua diantara teman-teman aku yang lain. Kami bermain keluarga-keluargaan, dimana dia menjadi Ibu, aku menjadi Ayah, dan teman lain menjadi anak.

Lucu pada awalnya, saat kami sok-sok’an memerankan prilaku orang dewasa, padahal kami tidak tahu maknanya. Tapi semua jadi lebih lucu lagi saat peran itu berlanjut ke kamar, dan yang ku ingat hanya mba’ Endang memelorotkan celananya, begitu juga aku, lalu aku menindihnya.. dan yang paling lucu, saat itu aku tak tahu harus di apakan kearah mana penisku. Aku hanya menempelkannya di bibir kemaluannya dan mencium-cium mbak Endang, lalu aku lupa bagaimana usainya, kalau tak salah saat kami mendengar suara ibunya mbak Endang yang memanggil-manggil nama mbak Endang dari arah dapur, hingga kami bergegas memakai kembali celana kami.

Sekarang Mba’ Endang telah memiliki 1 anak tunggal berusia 14 tahun, dari suaminya tentu,.. dan bila kami bertemu, seolah kejadian itu tak pernah terjadi atau teringat. Kami tetap bertegur sapa dengan baik. Syukurlah…

Umur 13 tahun.. aku kelas 2 SMP, itu saat pertama kali aku pacaran, hanya pacaran biasa, meski pada saat itu aku sudah benar-benar mengerti tentang hubungan seksual. Pelajaran biologi, video VHS yang sering di putar di rumah sahabatku, bahkan kartu-kartu porno yang ku beli secara sembunyi-sembunyi di pusat perbelanjaan barang-barang kapal (selundupan) di kotaku membuatku paham benar posisi-posisi bercinta, walau aku sendiri belum pernah melakukan, meski ingin sekali kulakukan dengan pacarku.

Aku bersahabat dengan Hendra, teman aku yang kaya tapi sama nakalnya denganku, apalagi soal yang begituan, walaupun diapun juga belum pernah melakukan sekalipun, tapi kaset-kaset video VHS koleksi ayahnya yang ternyata kedapatan olehnya menjadi media penting yang mempengaruhi, apalagi ayahnya seorang pejabat yang jarang di rumah, Ibunya sudah meninggal.

Karena aku sering sekali tidur di rumahnya, lalu menghabiskan waktu menonton film porno, keingin tahuan kami menjadi terpupuk sangat besar, bagaimana rasanya bersentuhan dan melakukan hal itu. Lalu atas nama eksperimen, kami memutuskan untuk melakukan hubungan sejenis, bukan karena kami homo, tapi karena kami tak mampu menahan gejolak seksual sementara tidak ada wanita yang bisa di ajak melakukan, dan tak mungkin melakukannya dengan pacar kami masing-masing.

Sekarang Hendra sudah pindah ke Bandung bersama ayahnya yang pindah tugas, tak pernah lagi kudengar kabarnya.

Kelas 3 SMP, aku semakin nakal, pacarku yang anak baik-baik aku putusin, itu pertama kali aku memutuskan hubungan dengan seorang wanita. Betapa aku di musuhin sama teman-teman mantanku, lalu seolah semua menuntutku untuk menjelaskan apa yang terjadi. Tapi aku tidak dapat menjelaskan sebabnya, hanya apa yang ku lakukan menjadi refleksi pertanyaan itu.

Aku menjadi anak yang suka bawa Alkohol di dalam tas sekolahnya, waktu itu hanya whisky Cola atau whisky dalam bentuk botol gepeng.., di saku selalu mengantongi diazepam 10 ml, atau double L, obat untuk penderita sakit jiwa. Tiap waktu selalu di panggil ke ruang BP, karena berkelahi, membuat kerusuhan di kelas, atau mengganggu teman wanita satu sekolah.

Aku melakukannya karena di umurku yang segitu aku harus menghadapi hal di luar kemampuanku, aku di tuntut menjadi lebih dewasa dari seharusnya. Ayahku berselingkuh dengan wanita lain, selain dia kecanduan judi, dan menjadi orang yang sangat kejam.

Ya.. Ayahku memang mantan seorang preman, yang beberapa waktu berhenti karena menikahi ibuku, tapi seperti kata orang, jiwa petualang selalu menetap dalam pembuluh vena dan tak akan pernah berhenti mengalir, hanya menunggu waktu untuk kembali mengalir ke otak dan membuat kita melakukan hal-hal yang kadang di luar nalar sosial.

Aku sekolah pagi, tapi selalu pulang setelah mahgrib, untuk menghindari melihat Ibuku menangis, tapi setiap kali aku sampai di rumah, ayahku telah menunggu dengan sabuknya, atau balok ukuran 3 x 5 cm untuk memukulku. Karena itu sebelum sampai rumah aku selalu menegak habis minumanku plus beberapa butir obat penenang, agar tidak terlalu merasa sakit.

Malamnya, dalam memar kaki dan tubuhku, aku masih harus mendengar pertengkaran antar Ibu dan ayah, tak ku dengar suara kakak perempuanku yang berdiam di kamarnya.

Sejak itulah waktu menempaku menjadi sosok Bono yang mengeras dalam waktu. Menebalkan hatinya hingga tak peka pada perasaan. Menempatkan hatiku dalam freezer, menjadi dingin dan beku.

Aku mulai melawan saat Ayah mencoba memukulku, bahkan pernah kuhunus sebilah pisau badik untuk melawannya, namun karena tubuhku yang kurus dan kecil, aku tak sanggup melawannya, ditambah dia punya ilmu kebal hingga tusukanku tak berpengaruh sama sekali di kulitnya..

Sejak saat itu aku jadi jarang pulang, bahkan bergaul dengan anak-anak punk, berkumpul di jalan, makan makanan tak jelas, kadang sebungkus harus dimakan berlima atau delapan orang, belum lagi atas nama persaudaraan makanan itu harus kami ludahi masing-masing. Aku benar-benar tersesat..

Di situ aku mengenal bagaimana hidup bebas, narkoba, minuman keras, rokok, wanita, dan segala macam tetek bengek pergaulan, bahkan aku adalah yang termuda diantara teman-temanku yang rata-rata telah putus sekolah, atau sudah SMU.

Saat itu aku memang belum secara sah meniduri seorang wanita dalam arti kata seksual, tapi aku mulai sedikit demi sedikit mengenal wanita lebih jauh dari sebelumnya, seperti melakukan French kiss, menyentuh payudara pertama kali, melakukan petting dengan masih berpakaian hingga spermaku membasahi celanaku,.
Hahhaha….. tawanya renyah, lesung dipipinya menyiratkan sedikit kelegaan karena telah menumpahkan sedikit rahasianya kepadaku…

Huft.. aku kelelahan, tampaknya sudah cukup panjang ceritaku, dan malam sudah semakin larut, tampaknya aku harus pindah ke depan club atau aku tidak dapat penghasilan malam ini… so, enough for now brotha.. n thanks for cigarrete.. coffe.. and hearing…

Jadi.. kurasa , kali ini aku cukup ini dulu.. besok aku akan ceritakan lagi bagaimana aku beranjak dewasa di bangku SMU…

Dan dia meninggalkanku disitu dengan pikiranku yang merekam setiap kata-katanya, berlalu menuju tempat yang diucapkannya mungkin, dan aku tersenyum menatap air sungai yang bergejolak.. seperti realita hidup yang tak mudah di tebak…

TAMAT.

SUNGAI HITAM KEHIDUPAN

Yahya berlari pada bapaknya.., berteriak sekeras mungkin bahkan sebelum dia melihat wajah bapaknya menoleh kepadanya… 

“Bapaaaakkkkkkk……… “ , sekejap ia memeluk seorang bapak-bapak dari belakang sambil menempelkan pipi wajahnya kepundak lelaki yang sedang duduk di kursi taman itu.
Sang lelaki terkejut pasi, refleksnya memutar badan dan melihat siapa anak kecil yang telah mendekapnya dari belakang.. masih dalam posisi duduk namun memasang wajah awas… di perhatikannya wajah anak itu yang tersenyum dan tetap berusaha memeluknya.. lalu sekilas menepisnya berdiri dan undur selangkah.. membuat pelukan yahya terlepas.. dan kursi taman menjadi pembatas keduanya.. 

Lelaki paruh baya itu mengernyitkan dahi dan berucap meninggi.. “Heh! Siapa kamu! Peluk2 sembarangan!” , hardiknya pada yahya yang terus tersenyum sambil berjalan mundur…

Yahya tidak menjawab, anak umur 6 tahun itu memutar tubuh mungil kurusnya, berlari, lalu sekali menoleh dengan tawanya ke arah lelaki tadi yang masih tetap berdiri memandangnya.. dan si yahya kecil teriak lagi sambil melambai-lambaikan tangannya… “ Dadaahhh pakk… yaya pulang pak.. cepat nyusul ya pakkkkk…. Yaya tungguuu..“ 

Di kebingungan lelaki itu memandang, yahya kecil telah hilang dari pandangan, pulang mungkin, ke  pemukiman kumuh disisi sungai dekat sebuah jembatan yang disebutnya “rumah”.

Yah.. lelaki itu memang bukan ayahnya, bukan siapa-siapa yang dikenalnya bahkan,.. dia hanya selalu melakukan itu sejak setahun lalu pada orang yang sedang duduk ditaman diseberang jembatan tak jauh dari tempat dimana ia menetap semenjak lahir.. 

“Mak.. dimana bapak?” , pernah tanyanya lugu ketika menemani ibunya mencuci di hitamnya air sungai yang sebenarnya telah tak layak digunakan.
“Yaya, Jangan tanya mulu nak.. Nggak tau mak mana bapakmu.. terakhir mak tau, dia sedang duduk di taman sono waktu malem kamu lahir, trus besoknya mak udah nggak pernah liat lagi… nggak tau mati.. nggak tau idup.. ” , jelas ibunya.

Mungkin itulah yang tertanam dalam otak yahya, hingga tiap kali ada pria paruh baya duduk di kursi taman yang ditunjuk maknya, dia lalu berusaha memeluk mereka dari belakang, entah berharap salah satu dari mereka adalah benar ayahnya, atau hanya sekedar ingin merasakan hangatnya tubuh seorang ayah yang tak pernah didekapnya semenjak lahir.

Ayah yang mungkin tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa di sulitnya hidup, harus mendapatkan seorang anak yang tak mampu di anggapnya sebagai karunia dan pemberian Tuhan. Ayah yang berlari menghindar dari kerasnya tanggung jawab. Namun tetap ayah yang didambakan olehnya untuk dapat membalas pelukannya suatu hari kelak dan yahya memaafkan semuanya.
……………………..
1309930118982837668Yahya memandang pinggiran sungai berair hitam dari atas jembatan tak jauh dari tempat ia memarkir mobilnya. Masih jelas diingatannya 15 tahun lalu, dirinya masih tinggal disisi sungai itu. Tempat terakhir dimana ia mendekap tubuh ibunya yang dingin membeku, saat ajal telah datang menjemput dan hanya ia satu-satunya yang berada disisi ibunya.

Subuh itu, yahya ingat betul apa yang terjadi saat usianya 7 tahun, tubuh ibunya yang telah lemah karena sakit panjang yang dideritanya, yahya sendiri tak mengerti apa yang diderita ibunya, hanya dua butir obat sakit kepala yang di belinya di warung setelah ikut teman-temannya mengamen semalaman di perempatan jalan yang sanggup ia berikan dengan tubuh dan usia kecilnya.

“Ya’.. Mak kedinginan.. dekep mak yah..” , ucap ibunya parau lemah, dan yahya mengangguk, mendekati ibunya, mendekapnya erat, kakinya menempel pada kaki ibunya yang dingin seperti es..
Ibunya mengambil sesuatu dari bawah bantal perca tipisnya, sebuah Al Qur’an lusuh, yang mungkin usianya lebih tua dari yahya.. 

“Mak gak punya apa-apa nak, cuma ini pegangan mak selama ini, saat mak sedih, saat mak marah, atau saat mak hampir putus asa, mak selalu berpegangan ama ini.. dan mak selalu ingat kamu.. “ , bulir air mata tipis mulai mengalir disudut mata ibunya yang terlihat sangat lelah.. 

Kelelahan seorang ibu yang telah membesarkan anaknya seorang diri, kekuatan yang tiada banding demi kehidupannya dan buah hatinya, semampunya memberikan apa yang sanggup ia perjuangkan.. sungguh semua itu tergambar di wajah dan matanya yang beranjak layu..

“Mak mau tidur lama-lama ya nak, jangan bangunin mak, ingat.. Kamu harus jadi’in Al Qur’an ini satu-satunya harta kamu yang paling berharga, pegang teguh dan kuasai isinya.. amalin dengan bener, dengan begitu mak akan bangga ama kamu nak.. “ , ucap terakhir maknya waktu itu dengan isak tangis pelan, seolah tau, esok takkan berucap lagi.. 

Dan setelahnya, dalam peluk anaknya, ia tertidur, hingga esok paginya, yahya terbangun dan dengan susah payah melepaskan diri dari tubuh kaku maknya, yang tak lagi bangun.

Setelah kepergian ibunya, yahya masih tetap tinggal di situ, sisi sungai dekat taman, karena dia memang tidak punya siapa-siapa lagi, setiap hari hanya mengamen dengan teman-temannya untuk sekedar mengisi perut saat lapar.

Kini usianya telah 22 tahun, ia berdiri dengan tubuhnya yang tak lagi kurus mungil, kini ia tegap, berpakaian rapi, ia kini seorang lulusan negara kairo di bidang agama, dan kini telah menjadi seorang da’i terkenal.
Dijembatan itu saat ini ia mengingat detil demi detil hidupnya yang keras semasa kecil, hingga suatu hari, seorang pria paruh baya duduk di kursi taman, dan ia kembali memeluknya dari belakang, namun kali itu bukan hardikan yang ia terima seperti biasanya,

Lelaki itu berbalik badan, tersenyum, dan menarik lengannya lembut mengajak duduk disisinya, membelai hangat rambut di kepalanya, lalu ngobrol hangat kebapakan..

Itulah awal kehidupan barunya, dimana ternyata orang tersebut adalah salah seorang ustadz di salah satu pondok pesantren di daerah, yang pada saat itu juga mengajaknya untuk ikut tinggal dengannya, menganggapnya sebagai anak, membesarkannya, mengajarkan ilmu agama, menyekolahkannya di pesantren tersebut, hingga ia mendapatkan beasiswa ke kairo untuk menyelesaikan studi perguruan tingginya.. hingga pada hari ini yahya telah berubah menjadi orang.., orang yang dapat di banggakan.. 
***
Yahya tak berucap apa-apa, ia menghapus kerling bening disudut matanya, rasa kangennya pada bau sungai berair hitam, tempat ia menghabiskan banyak kenangan pahit masa kecil, telah pupus, ia tersenyum, lalu beranjak dari jembatan itu kembali ke mobilnya.

Masuk ke dalam mobil, didapatinya istrinya tersenyum, dikursi belakang kedua putra-putrinyapun tersenyum, istrinya memeluk sebuah Al Qur’an lusuh, Itu peninggalan satu-satunya dari ibunya dulu sebelum meninggal dunia.. dan masih di jaganya hingga kini.

Yahyapun tersenyum, memutar kunci mobilnya hingga mesin menyala,. “Sekarang, kita kunjungi kuburan nenek, kita kirim do’a disana, OK !”
“OK Yahhh…. “, sahut anak-anaknya penuh riang… dan senyum istrinya yang tak pernah pudar.
Ini adalah cerita hidup yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya, bahkan direncanakanpun tidak, bahwa hidup mengalir seperti sungai, yang sesaat berair hitam dan bau, namun akhirnya saat telah bergabung dengan muara hingga ke lautan, ia takkan selamanya hitam, salah satu bukti bahwa Tuhan itu ada, Maha melihat, dan Maha Adil terhadap hamba-hambanya.

TAMAT.

Senin, 19 November 2012

Mengapa Amerika disebut negara Paman Sam





Kenapa Amerika dijuluki sebagai Negara Paman Sam (Uncle Sam) ?. Begini ceritanya, dahulu ada orang bernama Samuel Wilson. Ia dilahirkan di Arlington, tanggal 13 September 1766. Pada usia 14 tahun, ia menjadi sukarelawan pejuang bagi negaranya. Setelah dewasa, ia membuka usaha kemasan daging di New York. Ia menyuplai bertong-tong daging bagi tentara AS dalam Perang 1812.
 
Pada tahun 1812 jumlah barang untuk tentara dibeli di Troy, NY, oleh Elbert Anderson, seorang kontraktor pemerintah. Barang diperiksa oleh dua bersaudara, Ebenezer dan Samuel Wilson. Samuel Wilson sering dipanggil “Uncle Sam” oleh temannya. Setiap paket ditandai inisial E.A.-U.S. Pada saat dimintai arti inisial ini, pekerja yang bercanda menjawab bahwa EA adalah Elbert Anderson dan US adalah Paman Sam yang seharusnya adalah United States. Jadi judul menjadi populer di kalangan para pekerja, tentara, dan orang-orang, dan Pemerintah Amerika Serikat sekarang dikenal sebagai Paman Sam.


Kisah diatas akhirnya di tulis dalam sebuah koran. Pada 1860-an dan 1870-an, kartunis politis Thomas Nast mulai mempopulerkan gambar paman Sam. Nast mengembangkan gambar tersebut dengan memberikan Paman Sam Janggut putih dan pakaian yang bermotifkan bintang dan garis. Nast juga-lah yang menciptakan citra Sinterklas dan gajah sebagai simbol Partai Republik. Pada September 1961 Kongres AS mengakui Samuel Wilson sebagai cikal bakal symbol nasional Amerika.

Paman Sam Wilson dianggap sebagai tokoh teladan tentang seorang wiraswasta yang suka bekerja keras dan cinta kepada tanah airnya. Wilson wafat di usia 88 tahun pada 1854 dan dimakamkan di Pemakaman Oakwood di Troy, New York. Kota itu mendapat sebutan ‘Rumah Paman Sam’ Akhirnya nama Paman Sam secara resmi dipakai untuk julukan Negara Amerika. Orang-orang Amerika sangat bangga dengan julukan dan citra yang dimiliki Paman Sam.

Jadi gitu deh.. dah tau kan?